Patung Budha Gus Dur: Resiko Pluralisme, Kiyai Disamakan dengan Budha




Ide mem’budha’kan Gus Dur dalam bentuk patung itu bermula dari keinginan para seniman pahat untuk menghormati dan mengenang mendiang Gus Dur sebagai pejuang pluralisme Indonesia. Dari ide itulah, Cipto Purnomo, aktivis Komunitas Seniman Borobudur Indonesia membuat patung Budha berkepala Gus Dur yang diberi tema “Sinar Hati Gus Dur.”

Spontan, patung Gus Dur Budha itu menuai protes dari Dewan Pengurus Pusat Pemuda Theravada Indonesia (DPP PATRIA). Mereka tersinggung karena menganggap patung itu menyerupai Buddha.

“Kami akan mengajukan keberatan kepada seniman Bapak Cipto Purnomo yang telah menghasilkan karya seni ini. Yang mungkin karena ketidaktahuannya, telah merendahkan figur dari Guru Agung kami dan juga Guru Agung Dunia,” kata Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Pemuda Theravada Indonesia (DPP PATRIA) Tanagus Dharmawan siaran persnya di Jakarta.

Menurut Tanagus, umat Buddha sangat menjunjung tinggi figur Budha. DPP PATRIA juga yakin keluarga mendiang Gus Dur juga berkeberatan.

“Kami pun yakin, keluarga dan para pendukung Bapak KH Abdurrahman Wahid akan berkeberatan akan hal ini, yang sangat terkesan merendahkan figur atau simbol agama Buddha,” lanjut Tanagus.


Pematung Gus Dur: Saya Tak Berniat Lecehkan Buddha

Meski patung Gus Dur yang menyerupai Buddha diprotes oleh umat Buddha, namun sang pematung, Cipto Purnomo, mengaku tidak berniat melecehkan Buddha.

“Saya saat menciptakan patung itu melihat bahwa patung itu adalah bentuk simbolis. Bukan maksud dan tujuan saya untuk melecehkan agama tertentu,”
Cipto berkilah bahwa apa yang dilakukannya bukanlah pelecehan kepada Budha, tapi justru bentuk pujian kepada Budha, karena dia melihat adanya nilai-nilai kebaikan yang sama-sama muncul dari Buddha dan sosok Gus Dur.

“Gus Dur seperti kita ketahui, dengan umat lain tidak memusuhi, malah terjalin hubungan yang baik. Apalagi di negara kita banyak agama dan kepercayaan yang bisa diterima,” tegas Cipto.

Kekaguman Cipto terhadap Budha memang tak perlu diragukan lagi. Tahun 2009 lalu, Cipto adalah meraih rekor MURI sebagai pembuat patung Buddha terkecil di Indonesia berukuran 8×4×5 mm dari emas.

Cipto menceritakan, awal mula membuat patung ini adalah ajakan dari pemilik Studio Mendhut, Sutanto, dalam rangka memperingati 40 hari wafatnya Gus Dur. “Seminggu sebelum acara dilangsungkan di Studio Mendut, saya dihubungi Pak Tanto untuk membuat patung,” tegas guru SMP Muhammadiyah 1 ini.

Setelah memperoleh ide dan imajinasi, dia memilih sosok Buddha. Menurutnya, karya seni tercipta secara subjektif dari seniman itu berdasarkan imajinasi dan hasil pengamatan di lingkungannya.

“Saya dekat dan dibesarkan di lingkungan Candi Borobudur. Siapa yang tidak kenal dan tidak mengaguminya,” tegas Cipto.

Keluarga dan pendukung Gus Dur tak keberatan Gus Dur di”Budha”kan
Meski patung Gus Dur Budha itu kontroversial, namun keluarga Gus Dur sama sekali tidak keberatan dan bisa memakluminya sebagai bentuk ekspresi seni.

“Kita tangkap itu sebagai bentuk kecintaan seniman kepada Gus Dur,” kata menantu Gus Dur, Dhohir Farisi.

Memang diakui Dhohir, tidak ada dari panitia atau seniman yang bersangkutan meminta izin mau membuat patung tersebut. Namun keluarga tidak mempermasalahkan.

“Tidak ada keberatan apa pun. Ya sudahlah, itu ekspresi seni,” kata Dhohir.

Suami Yenny Wahid ini menambahkan sudah diinformasikan oleh para seniman, mereka akan kembali mengadakan kegiatan serupa di Magelang untuk memperingati 100 hari wafatnya Gus Dur. Menurutnya, publik masih belum banyak tahu kalau Gus Dur juga dekat dengan komunitas seni.

“Selain sebagai kyai dan mantan presiden, beliau juga pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta,” kata Dhohir.

Bagaimana tanggapan Yenny Wahid soal patung Gus Dur itu? “Yenny juga sudah lihat gambarnya. Kita ketawa saja, ada patung Gus Dur pakai peci putih dll. Inilah ekspresi seni,” pungkasnya.

…Meski meyakini bahwa Gus Dur adalah Wali Allah, namun Nuril tidak mempermasalahkan jika ada seniman yang ingin membuat patung Gus Dur dalam bentuk apapun…

Dukungan patung Gus Dur berbadan Budha juga disampaikan oleh Gus Nuril, mantan komandan pasukan berani mati untuk Gus Dus. Meski meyakini bahwa Gus Dur adalah Wali Allah, namun Nuril tidak mempermasalahkan jika ada seniman yang ingin membuat patung Gus Dur dalam bentuk apapun, namun Nuril tidak mempermasalahkan jika ada seniman yang ingin membuat patung Gus Dur dalam bentuk apapun.

“Mau dipatungkan dalam bentuk apapun silakan, itu hak mereka,” tambahnya.

Resiko tokoh Islam berpaham Pluralisme
Menengahi kontroversi patung Gus Dur Budha tersebut, Abdurrahman Yusuf Chodori mengatakan, berbagai cara telah dilakukan masyarakat untuk tetap menghidupkan nilai-nilai yang diajarkan Gus Dur. Antara lain pluralisme, humanisme dan kebangsaan.

“Melalui para seniman, mencoba menuangkan ide kreatif tersebut melalui seni rupa dan patung,” kata Yusuf.

Yusuf menjelaskan bahwa para seniman sama sekali tidak bermaksud melecehkan Budha, tapi hanya mengabadikan pluralisme Gus Dur dalam bentuk patung.

“Sebetulnya niatan dari teman-teman seniman Magelang itu untuk menggambarkan tentang betapa sangat pluralisnya Gus Dur tanpa maksud lebih dari itu,” kata Gus Yusuf di Solo.

“Waktu itu saya dimintai komentar dan saya pun menjawab Gus Dur tidak hanya milik orang Islam dan jika dilihat dari ekspresi seni itu wajar dan sah-sah saja,” lanjut dia.

…Apakah atas nama pluralisme dan seni, apakah orang diperbolehkan membuat patung badan Hanoman berkepala Gus Dur, padahal dalam pewayangan Hanoman berwujud kera putih…

Meski para pemahat patung itu tidak menjelaskan secara detil tentang paham pluralisme, tapi dari ekspresi patung Budha Gus Dur itu dapat ditangkap bahwa pluralisme menurut mereka adalah menyatukan (baca: mengoplos) paham suatu agama dengan agama lainnya. Makanya mereka patungkan KH Abdurrahman Wahid dalam bentuk sinkretisme antara kepala Gus Dur (Islam) dengan badan Budha (non Islam). Ini bisa diterjemahkan bahwa pluralisme menurut mereka adalah sinkretisme (penyampuradukan) antara Islam dan Budha, sehingga Gus Dur –yang ditokohkan sebagai ulama Nahdiyin– itu berkaki, bertangan, berbadan dan berhati nurani Budha tapi berotak Islam.

Atas nama pluralisme dan ekspresi seni yang menganggap Gus Dur sebagai milik semua agama, maka divisualisasikan dalam bentuk patung Budha berkepala Gus Dur.

Lantas bagaimana jika para penggemar pewayangan yang mengidolakan pluralisme Gus Dur mengekspresikannya sebagai pahlawan kaum tertindas seperti tokoh Hanoman? Apakah atas nama pluralisme dan seni, mereka juga diperbolehkan membuat patung badan Hanoman berkepala Gus Dur, padahal dalam pewayangan Hanoman berwujud kera putih?